Sejarah Desa

Admin 30 April 2014 17:20:39 WIB

 

 

LEGENDA DESA JEPITU

 

 

 

Legenda Desa Jepitu dan Laut Kidul/Pantai Wediombo, Gunung Batur, Kedung Lengis, Pagersari, Makam Kiyai Gusti Wora wari/Petilasan Jepitu Kidul, Rasul/ Bersih Desa dan Banjarsari.

425 ( Empat ratus dua puluh lima) tahun yang lalu, waktu itu Indonesia di jajah oleh Bangsa Belanda. Pada waktu itu  Belanda berada di Pulau jawa, tepatnya di jawa selatan, yang di sebut laut kidul tepatnya sekarang Pantai Wediombo Desa Jepitu Kecamatan Girisubo Kabupaten Gunungkidul.

 

Pada waktu itu belum ada yang namanya Desa Jepitu, yang ada adalah Desa Banjarsari. Desa Bajarsari di huni 18 KK yang  sesepuhi oleh Kyai Gusti Wora Wari. Beliau adalah seorang tokoh Agama Islam yang berasal dari Kerajaan Majapahit yang berkelana untuk menyebarkan ajaran Agama Islam. Di situlah Kyai Gusti Wora Wari bersama-sama penduduk Banjarsari yang kehidupan sehari-harinya adalah bertani. Aktifitas para  penduduk Bajarsari bertani ke  ladang/tegal yang letaknya sebagian di dekat kawasan laut kidul. Di samping bertani penduduk Banjarsari dan Kyai Gusti Wora Wari sambil mengembangkan pengetahuan tentang Agama Islam.

 

 

 

Tepatnya pada hari   Kamis Kliwon para petani pergi keladang seperti biasanya. Sesampainya di dekat laut, tiba –tiba di tengah laut diantara dua gunung besar terlihat tujuh  jong (tujuh kapal laut) telah membuat lingkaran di tengah laut sambil menembaki Gunung yang besar yang di sebut Gunung Batur ( yang sekarang di kenal dengan gunung  Api Purba). Ternyata jong/kapal laut tersebut adalah milik Bagsa Belanda. Melihat kejadian itu para petani langsung tunggang langgang ketakutan dan pulang Ke Desa Bajarsari. Kejadian tersebut dilaporkan kepada Kyai Gusti Wora Wari. Karena kawaskitan Kyai Gusti Wora Wari, Beliau sudah menduga bahwa Belanda akan menjajah Indonesia dari  jawa bagian selatan yaitu laut kidul.

 

Mendapat laporan tersebut, bergegaslah Kyai Gusti Wora Wari bersama –sama penduduk Desa Banjarsari  berangkat menuju pantai laut kidul. Setelah sampai di bukit dekat pantai, Kyai Gusti Wora Wari dan Penduduk Banjarsari merasa terkejut setelah melihat ternyata yang ada di tengah laut adalah jong-jong  yang sudah  membentuk lingkaran sambil menembaki gunung-gunung besar di dekat pantai/laut.

 

Melihat kejadian tersebut,  Kyai Gusti Wora Wari  memberi  perintah kepada  teman-temanya di suruh untuk duduk dan meyelinap jangan sampai di ketahui oleh Belanda. Bermula dari kejadian itulah Kyai Gusti Wora Wari  memberi  nama beberapa tempat di pinggir laut sesuai dengan kejadian-kejadian tersebut.

 

 

 

 

 PERTAMA

:

Di mulai dari perintah agar duduk (ndhodhok/mondhok) setelah melihat tujuh kapal/jong yang telah membuat lingkaran (kalangan/ngalangi) di tengah laut tersebut.

Berasal dari penggabungan dua kalimat Mondhok dan Ngalangi maka tersusunlah sebuah nama tempat Pondhok Ngalangi (tepatnya sekarang di bawah terminal Pantai Wediombo).

 

 

 KE DUA

:

Sambil jongkok/merangkak ke selatan kira-kira 100 m dari Pondhok Ngalangi pada saat itu tumbuh bambu wuluh. Kyai Gusti Wora Wari memerintahkan kepada teman-temanya untuk memotong bambu wuluh sebanyak-banyaknya untuk dijadikan senjata (bambu runcing) karena mendapat dari kata bambu wuluh itulah maka tempat itu di sebut Pondhok Wuluh.

 

 KE TIGA

:

Kemudian merangkak lagi ke selatan sekitar 200 m menyeberangi sungai sambil membawa senjata bambu wuluh, Kyai Gusti Wora Wari menganggap sudah siap perang melawan Belanda. Karena seorang santri, sebelum memulai perang di situlah beliau dan teman-temannya  menjalankan salat dhuhur terlebih dahulu. Maka tempat itu di sebut Pesantren.

 

 KE EMPAT

:

Di ujung Pesantren di atas gunung itulah Kyai Gusti Wora Wari bersama teman –temannya bisa melihat dengan dekat dan jelas jong-jong Belanda. Dengan senjata yang di miliki berupa  bambu wuluh yang di buat rucing. Dengan berlindung pohon pandan, setelah mendapat perintah dari Kyai Gusti Wora Wari runcing tersebut di lempar ke arah jong/kapal Belanda dan mengenai leher seorang nahkoda. Kemudian jong/kapal tersebut oleng dan tenggelam termasuk 5 (lima) awak kapal ikut tenggelam dan mati  di dekat gunung dimana Kyai Gusti Wora Wari dan teman-temannya berada .

Melihat satu kapal tenggelam bersama nahkoda dan semua awaknya tewas, maka 6 ( enam) kapal yang lain langsung kembai ke tengah laut dan berlayar ke arah barat meninggalkan tempat itu.

Tempat dimana tenggelamnya jong/kapal Belanda tersebut di beri nama Dung Perahu yaitu sebuah tempat yang menyerupai bentuk Perahu atau kapal sekoci.

 

KE  LIMA

:

Setelah bisa menenggelamkan kapal Belanda tersebut di anggap Belanda sudah kalah. Maka Kyai Gusti Wora Wari mengucapkan syukur dengan menengadahkan tangan. Pada saat itu yang ada di atas tangan Kyai Gusti Wora Wari adalah buah dari pohon pandan maka buah dari pohon tersebut dinamakan Pandonga/berdoa.

 

KE ENAM

:

Setelah itu, melihat gunung  besar yang masih terbakar akibat ulah Belanda tersubt maka Kyai Gusti Wora Wari mengajak teman-temanya untuk memadamkan api tersebut.  Mereka berlari sepanjang pasir pantai kira-kira 900 m sambil memangkas daun daun yang lebar dan tebal sebagai alat untuk  memadamkan  api tersebut.

Sesampainya di ujung pasir mereka tidak kuat lagi lalu berhenti. Dengan nafas tersengal-sengal karena berlari di atas pasir yang lebar dan panjang tersebut maka diberilah nama Wediombo. Dalam bahasa jawa Pasir adalah wedi dan ombo adalah luas maka tersebutlah nama Wediombo.

Dengan tidak patah semangat untuk memadamkan api, mereka meneruskan berlari menuju gunung dengan alat untuk kebut-kebut (memadamkan api) adalah daun, maka pohon dari daun tersebut diberi nama Keben yang berasal dari kata kebut-kebut. Pohon tersebut saat ini masih banyak di jumpai di sepanjang Pantai Wediombo.

Setelah berhasil memadamkan api, berkatalah Kyai Gusti Wora Wari “untung aku mau gowo batur” yang artinya beruntung tadi aku membawa teman. Dari kata itulah muncul sebuah nama Gunung Batur.

Setelah istirahat agak lama di atas  Gunung Batur, Kyai Gusti Wora Wari dan teman-temannya turun Gunung menuju kearah utara kira-kira 1.500 m. Sesampainya di suatu tempat di dataran rendah sambil beristirahat tanpa sengaja Kyai Gusti Wora Wari meludah yang ternyata ludahnya tersebut berwarna merah bercampur darah. Karena ludah tersebut bercampur darah, maka disuruhlah temannya menimbunnya dengan baik .

Timbunan ludah tersebut di sebut gedhong/makam. Ludah bercampur darah tersebut terjadi pada hari Kamis Kliwon ketika matahari sudah menggelincir diarah barat. Kejadian tersebut akibat dari perang yang wengis (kejam).  Akibat dari kejadian itu tersebutlah sebuah nama Gedhong Lengis. Hingga saat ini setahun sekali pada hari kamis kliwon tempat tersebut dijadikan tempat ritual Sadranan oleh masyarakat sekitarnya.

 

KE TUJUH

:

Perjalanan dilanjutkan menuju ke arah utara kira-kira 3000 m. Sesampainya disuatu tempat Kyai Gusti Wora Wari Mengajak berunding dengan teman-temanya. Beliau menjelaskan bahwa kejadian tadi adalah rahasia maka jangan sampai ada orang yang tahu apa lagi pasukan Belanda. Dari kerahasiaan tersebut maka tempat itu kemudian di beri Nama Pager Sari yang artinya rahasia itu harus di jaga rapat-rapat. Saat sekarang tempat tersebut berada di Padukuhan Nglaban Desa Jepitu. Hingga saat ini setiap tahun sekali setiap hari Kamis Kliwon sebagai tempat untuk nyadranan/ritual masyarakat Padukuhan Nglaban Desa Jepitu dan sekitarnya.

 

KE DELAPAN

:

Setelah semua teman-temanya paham dan setuju maka begegaslah kembali ke Banjarsari. Akan tetapi baru berjalan sekitar  500 m dan hari mulai senja. Tak di sangka tak di nyana  Kyai Gusti Wora Wari dan teman-temannya bertemu dengan tentara Belanda. Terkejutlah Kyai Gusti Wora Wari dan teman-temannya. Tentara Belanda tersebut  bertanya, “Apakah dilaut kidul ada jong/kapal yang jumlahnya tujuh (Opo segoro kidul ono jong pitu)?” Kemudian Kyai Gusti Wora Wari menjawab “Kalau Jong/kapal tujuh tidak adanya Pohon Joho Tujuh (Nek jong pitu ora ono, anane wit joho pitu)”. Dari situlah awal mula nama JEPITU yang berasal dari kata Jong Pitu dan Joho Pitu. Setelah di beri jawaban tersebut tentara Belanda tersebut percaya begitu saja  dan akhirnya kembali ke arah utara.  Dan kemudian Kyai Gusti Wora Wari  kembali ke Banjarsari bersama teman-temannya.

 

KE SEMBILAN

:

Sesampainya di Banjarsari Kyai Gusti Wora Wari mengadakan kumpulan bersama penduduk Banjarsari dan Beliau berpesan kepada semua penduduk bahwa :

 

 

Setiap satu tahun sekali pada hari Kamis wage sehabis panen para petani harus melakukan Sedekah Laut/Ngalangi sebagai bentuk ucapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa agar di beri keselamatan, keteteraman dan kemudahan dalam segala hal.

 

 

Setahun sekali, agar di adakan Sadranan di Gedhong Lengis dan di Pagersari pada hari Kamis Kliwon dan di lanjutkan tasyukuran warga (Rasul/Bersi Desa) pada hari Jum at Legi di Pagersari.

KE SEPULUH

:

Setelah berpesan kepada penduduk, Kyai Gusti Wora Wari  mohon pamit kepada penduduk Banjarsari bahwa Beliau akan pergi dan jangan dicari. Mendengar pesan tersebut semua penduduk menangis dan penuh pertanyaan. Ada apa dengan semua itu. Setelah kepergian Kyai Gusti Wora Wari ke arah barat, tidak jauh dari tempat tersebut ditemukan Pohon Joho berjumlah Tujuh dan Teken/Tongkat  Kyai Gusti Wora Wari berdiri tegak. Dan mulai saat itulah Kyai Gusti Wora Wari pergi tidak pernah kembali.

KESIMPULAN

 

Maka di simpulkan tempat itulah adalah tempat terakhirnya Kyai Gusti Wora Wari dan sekaligus menjadi petilasan Kyai Gusti Wora Wari yang hingga saat sekarang masih dijadikan tempat ritual sebagian warga wasyarakat Desa Jepitu dan sekitarnya.

 Nama-nama Kepala Desa Jepitu

No Nama Tahun
1. Sukarman Marto Sukarmo  
2. R. Pratomo Harjo         - 1987
3. Subiyanto 1988 - 1989
4. Wasirin 1989 - 1999
5. Sukiran 1999 - 2007
6. Ridwan 2007 - 2013
7. Sarwana 2013 - 2019